Elmizah

Tetap Konsisten & Selalu Optimis

Kisahku Di Nil Biru

“Masih lama lagi ni ya?”
“Ga….kita dah mau sampai kok”
Tak terasa, mentari pagi berubah menjadi lembayung senja. Jam delapan pagi ku berangkat, ternyata belum sampai juga walau sudah jam tujuh kurang seperempat. Sepuluh jam lebih hanya duduk di tempat, badan pun terasa letih dan penat. Ingin rasanya meluruskan badan, istirahat dengan nyaman, sambil menghayati lantunan al quran, yang menentramkan jiwa dan perasaan. Ku rogoh kantong celana ku, eh….ternyata batre hp ku sudah habis. Mau baca-baca buku untuk menghilangkan suntuk, hmmmmm…itulah penyakitku, ga bisa baca-baca kalau lagi di mobil, ujung-ujungnya bakal pusing, akhirnya bisa muntah deh. Ku lihat ke kanan, hanya Tanah datar kosong gersang tanpa tanaman yang terhapar luas, ga ada tanda-tanda kehidupan, sunyi senyap, tak seekor binatang pun terlihat di sana, inilah sebuah negara yang luas, tapi minim penduduk. Sangat kontras sekali dengan negeri ku, yang kaya raya, kaya SDA, juga kaya SDM, sampai sangat sulit mencari tanah kosong terutama di kota-kota. Namun, masih banyak anak-anak terlantar, pengemis-pengemis jalanan, orang-orang tua terbuang, mereka-mereka yang masih di bawah garis kemiskinan, menghiasi di setiap sudut kota. Dimana kekayaan negeriku itu?
“loh…kok jadi terbang kesana?” gumamku dalam hati.

Ku melirik ke kiri, terlihat orang-orang hitam, mungkin mereka orang sudan, ada yang duduk di lantai bus hanya beralas sendalnya sendiri, ada yang saling pangku, ada yang duduk dua kursi bertiga walau badan mereka besar-besar, ada yang berdiri. Tapi ada yang unik dari mereka, mereka selalu bergantian dalam lima belas menit sekali, yang berdiri gantian duduk, yang di pangku gantian memangku, yang duduk di jog gantian duduk di lantai bus, sungguh betapa besarnya ruh kebersamaan mereka. Sahabat dan keakraban mereka mencerminkan jiwa persaudaraan yang kokoh. Walau muka sangar, tapi ternyata hatinya lembut juga, walau hanya di beberapa sisi, Tapi itu adalah nilai plus bagi mereka. tiba-tiba….
“Woy…. Ini adalah bendungan Roseires” teriak salah seorang mahasiswa.

Serentak semua berdiri dan melihat ke sebelah kanan, tak terkecuali dengan diriku, aku juga langsung menoleh, dan memang kebetulan aku duduk di jog paling ujung sebelah kanan, yang memudahkanku untuk melihatnya. Bendungan yang begitu besar dan tinggi itu, sejenak menghilangkan rasa suntuk ku, baru pertama kali aku melihat bendungan sebesar ini.
“Mungkin karena yang di bendungnya adalah sungai nil, sungai terpanjang di dunia, wajar kalau bendungannya juga besar” Pikir ku dalam hati, walau itu bener atau tidak. Bus kami pun terus melintasi jembatan panjang yang berada pas di sebelah bendungan Roseiris tersebut.

Tak selang berapa lama, kami berhenti di salah satu perumahan, ya…boleh di katakan mewah lah untuk ukuran di daerah ini.
“Ky….bener kan ku bilang, kalau Qafilah sama ustaz itu, enak….., tempat tinggalnya juga enak” ujar Hamdi.
Ku tak menjawab, ku hanya mengangguk-anggukkan kepala , sambil melihat ke kiri dan kekanan perumahan mewah itu. Kami langsung di bawa oleh dosen pembimbing ke mesjid, untuk menunaikan shalat magrib. Selesai shalat magrib, salah seorang dosen berdiri,
“Setelah shalat, kita makan malam, setelah itu kita lanjutkan perjalanan kita lagi”
Ku hanya melirik ke Hamdi sambil menahan tawa, dan Hamdi pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengusap-usap dadanya, ku tak bisa menafsirkan apa makna dari ulahnya itu, mungkin maksudnya “sabar….sabar….” mungkin juga “hmmm…. Ku yakin ada tempat yang lebih baik lagi dari ini, karena usataz itu emang baik” ya apa aja deh, itu kan suara hati dia, aku ga tau.

52 mahasiswa dan 3 orang dosen pembimbing memenuhi rumah makan perumahan mewah itu. Aku duduk satu meja dengan Hamdi, Zukhri dan Ilham. Makanan khas sudan pun di hidangkan, fuul, telur rebus, to’miyah beserta roti.
“Ful lagi…. Ful lagi….” gerutu Ilham.
“Udah makan aja, Cuma di sini kita nemuin makanan kayak gini, nanti kalau dah ke Indonesia ngidam Ful pun ente, ga bakalan ketemu yang kayak gini” jawab Zukhri dengan logat khas batak yang kental.
Kami pun larut dalam canda dan tawa, ga terasa Ful itu habis juga, ya…namanya juga laper. Hehehe. Ketika kami keluar dari rumah makan tersebut, ustaz Abdul Qodir menghampiri kami
“Ga jauh lagi kok, tinggal 15 menit lagi”
“Ternyata kita tinggalnya di samping perumaham mewah ya taz” ujar Zukhri.
“Berda’wah itu ga mesti tinggal di rumah mewah, nabi saja kadang tidur beralas pelepah kurma” Jawab ustaz Abdul Qodir dengan senyum, sambil meninggalkan kami.

Ternyata bus kami yang berAC telah di tukar menjadi mini bus biasa tanpa AC. Tak berapa lama, bus kembali membelah jalan lurus yang sunyi itu. 3 menit awal jalannya masih aspal mulus dan banyak lampu menerangi jalan tersebut, menit ke 7 jalan itu sudah gelap gulita, karena tak ada satu pun lampu yang meneranginya, menit ke 12 bus sudah goyang-gayang ke kanan dan kekiri, pertanda jalannya sudah tak aspal lagi, dan selanjutnya debu-debu pun memenuhi bus itu, dengan terpaksa harus mengambil kain untuk menutup muka.
“Ternyata bukan bersebelahan dengan rumah mewah Zukh….tapi bertetangga dengan istana debu” teriak Hamdi.
“Ya…. Kita kan sambil da’wah, juga berkunjung bersama turis-turis ini ke istana debu” balas Zukhri tak mau kalah.
Memang rambut-rambut kita semua menjadi pirang, percis seperti turis-turis. Ku jadi teringan dulu ada film berjudul : Bule Masuk Desa, walau ku tak tau gimana kisahnya. Intinya dengan rambut yang pirang karena debu ini, kami seperti para turis yang sedang melanglang buana di gurun pasir yang tak jelas apa namanya.

Akhirnya, bus pun berhenti, kami di turunkan di satu bangunan yang sangat sederhana, kelihatannya seperti bangunan sekolah, tapi ku ga tahu, belum ke dalam soalnya. Bangunan terdiri dari tiga ruangan, dengan halaman ala kadarnya, dipagar dengan kawat-kawat yang tak berduri. Gelap, tak ada cahaya, “Oh…mungkin karena lampunya belum di nyalain” bisikku dalam hati. Setelah ku menurunkan tas dan koper ku, aku, Hamdi, Ilham dan Zukhri masuk ke halaman bangunan itu, sambil menunggu mahasiswa yang lain mencari koper-koper mereka. ku tatap di sekeliling bangunan ini, ternyata gelap gulita, percis di tengah lapangan luas tanpa penghuni,
“Sepertinya ini adalah bangunan satu-satunya disini, bangunan di tengah-tengah padang pasir”

Ku terus melihat ke kanan dan kekiri, kedepan dan kebelakang, ternyata tak satu tiang listrik pun yang ku temui,
“Jangan-jangan listrik juga ga ada ni” hati ku bertanya-tanya.
“Ky…. Kayaknya kita di suruh menda’wahin orang-orang dayak ni, di turunkan di tempat yang gelap gini, ga tau di mana tempatnya, ga ada orang, ga ada apa-apa”
papar Ilham.
“Tapi aku yakin, ini Cuma tempat sementara, kita akan pindah lagi, ustaz tu ga mungkin tega lihat kita tinggal di sini, dia kan baik” jelas Hamdi dengan optimis.
“Anak-anak, di sinilah tempat tujuan kita” ustaz Abdul Qodir memecah obrolan kami.
Kami berempat hanya saling pandang. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami, seolah-olah tatapan itu cukup untuk menggambarkan suara hati.

Setelah shalat isya berjamaah, ustaz Abdul Qodir sedikit memberikan wejangan,
“Seorang da’I harus bisa di letakkan di mana saja, seorang da’I harus mampu tinggal di hutan belantara, seorang da’I harus siap kalau da’wah di pelosok-pelosok desa, seorang da’I harus selalu sabar dan tabah dalam kondisi apa pun”
“koper-koper kita masukkan ke dalam saja, dan kita semuanya tidur di luar, karena kalau di dalam pasti panas, sepertinya angin malam ini begitu sejuk”
Semua mahasiswa terlihat mangguk-mangguk seperti burung pelatuk, selayang pandang, seolah tak ada protes dengan ke adaan ini, tapi dalam hati mereka, ku ga tahu, gojolak apa yang sedang berkecamuk di hati mereka, apa sama seperti kami berempat, ada banyak unek-unek yang ingin kami tanyakan ke para dosen pembimbing.

Kami pun mengembangkan tikar yang sudah di sediakan, tidur di halaman bangunan itu, yang di penuhi rumput-rumput setinggi mata kaki, hanya dengan beralas tikar kami beristirahat malam itu,
“Besok tinggal buat status di FB, tidur di hotel beribu bintang”
ucapku sambil memandang ke langit lepas yang di penuhi bintang gemintang.
“Ya kalau besok ada listrik tuk ngecash HP” jawab Hamdi sekenanya.
“Udah jangan banyak cengkunek, nikmati aja jalan da’wah ni” ujar Zukhri dengan santainya, yang membuat kami harus menahan tawa, agar teman-teman yang lain tidak tergangu.
“Hmmm…kalau ga bisa nikmati lantunan al quran mengiringi tidur kita, kita nikmati aja zikir-zikir para jangkrik ini” balas Ilham tak mau kalah.

Kami pun larut dalam canda, mengahnyutakan kami dalam pelukan mimpi, mimpi-mimpi indah yang menghiasi tidur kami, menanti kenyataan esok yang harus kami tempuh.
Bersambung……

(Secarik kisah dari catatan harian ku)

3 Tanggapan to “Kisahku Di Nil Biru”

  1. ityvanti said

    bagaimanakah kisah zaky dan teman2 selanjtunya??
    tunggu tanggal mainnya masih di chanel dan stasiun yang sama..
    hehe

  2. Ity said

    tunggu aja dek..
    tergantung penulisnya. ehehe

Tinggalkan Balasan ke elmizah Batalkan balasan